Merawat Luka Dalam Sepi, Menemukan Kekuatan Hakiki

OPINI602 Dilihat

Opini: Drs. Wahyudi El Panggabean M.H

Derapperistiwa.id | Pekanbaru,

Dalam dunia yang semakin bising oleh hiruk pikuk dan pencarian pengakuan, Drs. Wahyudi El Panggabean, M.H menulis refleksi tajam berjudul “Merawat Luka Dalam: Sepi…” – sebuah perenungan tentang kekuatan diam, ketenangan batin, dan seni menyembuhkan diri sendiri tanpa harus selalu terlihat kuat di hadapan dunia.

“Setiap goresan luka yang menyebar, tidak pernah benar-benar dalam. Namun, tidak semua kepedihan mesti dibagi. Ada kalanya, luka lebih baik dirawat dalam sepi. Dirawat sendiri,” tulis Wahyudi membuka narasinya.

Ia menegaskan bahwa justru energi terbaik manusia sering lahir dalam kesendirian. Dalam hening, seseorang belajar berdamai dengan dirinya sendiri. “Keheningan adalah kekuatan,” kutipnya dari seorang filsuf yang meyakini bahwa diam bukan kelemahan, melainkan bentuk kematangan jiwa.

Wahyudi juga mengingatkan bahaya dari kebiasaan “curhat” di ruang publik digital yang kini menjadi arena kompetisi pengakuan. “Curhat di keramaian ada kalanya disalahpahami. Tidak selamanya kita beroleh validasi di ruang publik. Di era ini, memendam rahasia pribadi sepertinya butuh kekuasaan ekstra,” ujarnya.

Mengutip pepatah lama, “To speak is silver, to silence is gold,” Wahyudi menyebut bahwa diam justru menjadi simbol kemenangan sejati. Bahkan Rasulullah SAW menegaskan hal serupa dalam hadisnya:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik atau diam.”

Menurutnya, hadis tersebut menyejajarkan nilai “berbuat baik” dengan “diam”,dua tindakan yang sama-sama mulia.

Lebih jauh, Wahyudi menyinggung pemikiran Simone Weil, filsuf asal Prancis, yang menyebut manusia modern kini tengah menderita “spiritual hungry”,kelaparan batin yang tak dapat diobati oleh hal-hal duniawi.

Sebagai penutup, Wahyudi menyitir lirik lagu legendaris Ebiet G. Ade, “Untuk Kita Renungkan”, sebagai pesan spiritual sekaligus ajakan untuk menundukkan ego dan kembali berserah kepada Sang Pencipta:

“Tak ada yang bakal bisa menjawab, mari hanya: runduk, sujud pada-Nya…”

Sebuah pesan sederhana namun dalam, bahwa tidak semua luka harus disembuhkan dengan kata-kata, sebagian justru pulih dalam doa dan keheningan. (Pajar Saragih).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *