Derapperistiwa.id | Lahat,
20 November 2025 — Skandal korupsi Dana Desa (DD) Lubuk Layang Ilir kini pecah di permukaan sebagai salah satu kasus tipikor pedesaan paling ekstrem di Sumatera Selatan. Bukan hanya penjarahan Rp 5,4 Miliar, tetapi juga operasi kriminal terstruktur untuk memaksa perangkat desa ikut menanggung kejahatan.
Investigasi lapangan, testimoni saksi, dan pola administrasi mengungkap bahwa Kepala Desa Lubuk Layang Ilir tidak hanya melakukan pemalsuan tanda tangan — ia membangun sistem kejahatan berjenjang, lengkap dengan operator, alibi palsu, dan mekanisme pemaksaan psikologis kepada perangkat desa.
OPERASI MANIPULASI: RANGKAIAN KEJAHATAN BERENCANA
Dalam upaya menyelamatkan diri, Kades menjalankan taktik yang mencerminkan pola organized corruption:
1. Bujuk Rayu Terstruktur
Kades memaksa perangkat desa menandatangani surat pernyataan palsu yang menyebut bahwa pemalsuan tanda tangan dilakukan atas persetujuan mereka.
Ini bukan sekadar bujukan — ini adalah upaya kriminal sistematis untuk mengaburkan struktur kejahatan utama.
2. Rekayasa Alur Hukum
Modus ini secara eksplisit memenuhi unsur:
Pasal 21 UU Tipikor
Menghalang-halangi penyidikan dan mempengaruhi saksi.
Pasal 55 KUHP
Turut serta dalam pembentukan konstruksi kejahatan.
Pasal 263 KUHP
Pemalsuan dokumen publik.
Pasal 3 UU Tipikor
Penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain.
Kades bukan hanya pelaku — dia adalah arsitek kejahatan.
3. Menjerat Korban Jadi Tersangka
Jika perangkat desa menandatangani surat yang disodorkan, secara hukum mereka langsung masuk dalam struktur pertanggungjawaban pidana.
Kades menggunakan mereka sebagai tameng manusia demi menyelamatkan dirinya—modus klasik pelaku korupsi profesional.
SOSOK OPERATOR LAPANGAN: PENDAMPING DESA DIDUGA MENJADI ARCHITECT ADMINISTRASI FIKTIF
Nama Sdri. E.P.W., Pendamping Desa asal Tanda Raja, muncul sebagai operator teknis penyusunan LPJ fiktif.
Ia diduga menerima Rp 12 juta per tahun untuk menyusun dokumen fiktif yang menopang skema kejahatan ini.
Keterlibatan pendamping desa mengindikasikan:
kolusi lintas struktur,
penyalahgunaan kewenangan profesional,
potensi pidana turut serta.
Dalam struktur korupsi, ia berperan sebagai “penulis skenario kriminal administratif”.
INVESTIGASI MENGUAK DOKUMEN LPJ FIKTIF 8 TAHUN
Tim investigatif menemukan jejak manipulasi:
Format dokumen identik setiap tahun,
Tanda tangan perangkat desa berubah pola dan tidak konsisten,
Bukti fisik proyek tidak sesuai laporan,
Anggaran habis namun hasil nihil.
Ini bukan mal-administrasi — ini fabrikasi dokumen selama 8 tahun berturut-turut.
KERUGIAN NEGARA MENGERIKAN: INI ANATOMI KORUPSI
1. Proyek Mangkrak Bertahun-Tahun
Sumur Bor (2019-2024): Anggaran Rp 1,12 Miliar, lokasi mangkrak, tidak beroperasi.
2. Proyek Fiktif
Kolam Ikan Rp 87,4 Juta: Tidak ada lokasi, tidak ada penerima, tidak ada realisasi.
3. Penyalahgunaan Dana Aspirasi
Termasuk bantuan sapi Rp 140 Juta, dialihkan tanpa mekanisme hukum.
4. Eksploitasi Sumber Daya Manusia
Gaji perangkat desa dipotong sejak 2017 — tindak pidana eksploitasi jabatan.
5. Indikasi Aliran Dana di Luar Desa
Ada dugaan dana mengalir keluar desa melalui pihak eksternal.
Temuan ini masuk kategori grand corruption tingkat desa.
TUNTUTAN PUBLIK: TANGKAP SEKARANG, BUKAN BESOK!
1. Penangkapan Kades dan Sdri. E.P.W.
Atas dugaan:
Tipikor,
Pemalsuan dokumen massal,
Obstruction of justice,
Penyalahgunaan jabatan,
Kolusi administratif.
2. Perlindungan Total terhadap Perangkat Desa
Wajib diberikan status saksi kunci, dilindungi dari tekanan, intimidasi, dan rekayasa dokumen.
3. Audit Investigatif Forensik Menyeluruh
Mencakup seluruh LPJ Dana Desa 2018–2025, agar alur kejahatan terbuka total.
INSTITUSI YANG DIMINTA TURUN TANGAN
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Kejaksaan Agung RI
Mabes Polri
Kemenko Polhukam
Kemendes PDTT
BPK RI
Polda Sumsel / Tipikor
Kejati Sumsel
Inspektorat Provinsi Sumsel
DPMD Sumsel
Bupati Lahat
Inspektorat Lahat
Kejari Lahat
Polres Lahat.
Publisher — Red Investigatif







